"makalah tentang al-urf' "
AL’ URF
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul fiqh
Dosen
Pengampu: Rustam Dahar K. A. H M.Ag.
Disusun
oleh :
1. Ahmad Minanurrohim (133611033)
2. Faisal Hadi Kurniawan (133611031)
3. Qonita Alfi Navila (133611032)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang
mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak
melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal
(hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam
al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat
memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi
jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu.
Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan
beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak
mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau
masyarakat.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk dapat
mengetahui serta dapat mengamalkan salah satu metode Ushul Fiqh untuk
meng-Istimbathkan setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian al’urf ?
2.
Apa macam-macam al’urf ?
3. Apa dasar hukum al’urf ?
4.
Apa syarat-syarat al’urf ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian al’Urf
Al’Urf
adalah apa yang di kenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan,
perbuatan atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat. Menurut istilah ahli
syara’, tidak ada perbedaan antara al’urf dengan adat. Adat perbuatan seperti
kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa
bentuk ucapan akad. Adat ucapan, seperti kebiasaan manusia menyebut al Walad
secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan
mereka, juga kebiasaan mereka tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.
Adat terbentuk dari kebisaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun
tertentu. Berbeda dengann ijmak, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid
saja, tidak termasuk manusia secara umum.
2. Macam-macam al’Urf
Al’urf
(adat) itu dibagi menjadi 2 segi yaitu;
‘Urf
ditinjau dari sisi kualitas ( bisa di terima dan ditolaknyaoleh syari’ah ) ada
dua macam ‘urf yaitu;
a. ‘urf yang fasid atau ‘urf yang batal, yaitu ‘urf yang bertentangan
dengan syari’ah. Seperti ada kebiasaan untuk menghalalkan minum-minuman yang
memabukkan, menghalalkan makan dari hasil riba, adat kebiasaan menghabiskan
harta, dan lain sebagainya.
b.
‘urf
yang shahih atau al’Adah Ashahihah yaitu ‘urf yang tidak bertentangan
dengan hukum syari’ah. Seperti memesan
dibuatkan pakaian kepada penjahit. Bahkan cara pemesanan seperti itu pada masa
sekarang sudah berlaku untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti
memesan mobil, bangunan-bangunan , dan lain sebagainya.
‘Urf
bila ditinjau dari segi sifatnya,
‘Urf terbagi kepada:
a.
‘Urf qauli, ialah ‘Urf yang berupa perkataan,
seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk
didalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan
sehari-hari bisa di artikan dengan anak laki-laki saja.
b.
‘Urf amali, ialah
‘Urf berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan shighat jual-beli. Padahal menurut syara’, shighat jual-beli itu
merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’ memperbolehkannya.
3. Dasar Hukum al’Urf
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul
Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la
nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai
landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan
selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada
prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat
sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya
terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf
dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara
lain :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya:
“Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf
(al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf
199)[3]
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh
mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan
telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga
telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
1. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal
banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama
sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada
yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat
kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah).
Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan
kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah
dapat dijadikan landasan hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
4. Syarat – syarat ‘Urf
Tidak semua ‘urf bisa
dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- ‘Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘Urf itu
dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada
daerah tertentu. Oleh karena itu, klau hanya merupakan ‘Urf orang-orang
tertentu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i, yaitu
‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun
bukan karena dia itu ‘Urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalkan;
‘Urf di masyarakat bahwa seseorang suami harus memberikan
tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan,
karena Allah SWT berfirman:
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Artinya:
“tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
(Qs. Ath-Thalaq [65] ; 6)
c.
‘Urf
itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘Urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya;
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah,
saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata
tersebuatyang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi. Lalu lima
tahun kemudian ‘Urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging
termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang
tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan
pada ‘Urf yang muncul belakang.
d.
Tidak
berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘Urf berbenturan dengan tasrih
(ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘Urf itu tidak berlaku.
Misalnya;
Kalau seseorang berkerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan
Rp500.000,- tapi pemilik kantor
tersebuat mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari ahad
dan hari libur. Maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari
meskipun ‘Urf masyarakat memberlakukan hari ahad libur.
e.
‘Urf
tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati.
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ‘Urf yang
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama’ (dalam hal ini
ijma’) maka ‘Urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ‘Urfnya bertentangan dengan
dalil Syara’.
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
1.
Al’Urf adalah apa yang di kenal oleh
manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan atau
pantangan-pantangan, dan disebut juga adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak
ada perbedaan antara al’urf dengan adat. Adat perbuatan seperti kebiasaan umat
manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan
akad.
2.
Al’urf
(adat) itu dibagi menjadi 2 segi yaitu;
‘Urf ditinjau dari sisi
kualitas ( bisa di terima dan ditolaknyaoleh syari’ah ) ada dua macam ‘urf
yaitu
Ø ‘urf yang fasid atau ‘urf yang batal;
Ø ‘urf yang shahih atau al’Adah
Ashahihah;
‘Urf bila ditinjau dari segi sifatnya, ‘Urf terbagi kepada:
Ø ‘Urf qauli;
Ø ‘Urf amali.
3.
pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat
istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan
rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut,
sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan
dikalangan ulama.
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara
lain :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya:
“Jadilah
engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf 199)[3]
4.
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu:
Ø ‘Urf itu
berlaku umum;
Ø Tidak
bertentangan dengan nash syar’I;
Ø ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama,
bukan sebuah ‘Urf baru yang barusan terjadi;
Ø Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jika sebuah ‘Urf berbenturan dengan tasrih (ketegasan seseorang dalam sebuah
masalah), maka ‘Urf itu tidak berlaku;
Ø ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang
telah disepakati.
Daftar Pustaka
Wahhab
Khallaf, Abdul. 2002. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Darul Qalam, Kuwait.
Djazuli.
2010. ILMU FIQH. Jakarta: Prenata Media Group.
fiqih-dalam-meng-istimbath-setiap-permasalahan-dalam-kehidupan/